Mencermati

Kehidupan tidak hanya dilewati begitu saja, Pelajari Masa Lalu

Rencakan

Merencanakan segala hal untuk kehidupan di masa mendatang

Berpikir

Menimbang, baik dan buruk dari setiap keputusan

Mencatat

Tulis semua impian, buka lah kembali ketika tak punya mimpi

Pukulan

Terkadang, semuanya jadi berantakan. Tak perlu menjadikannya menjadi sebuah penyesalan

Friday, December 6, 2013

"KOSONG"

Belakangan ini saya tidak mengerti dengan apa yang sedang dirasakan. Selama 23 tahun dan baru kali ini merasakan hal yang seperti ini. Ada sebuah perasaan dimana saya benar – benar tidak merasakan apapun. Tidak senang, tidak sedih dan tidak keduanya. Entah perasaan seperti apa ini sebenarnya ?

Bermain PES tidak lagi memberikan kesenangan yang begitu menggembirakan. Bermain, memasukan bola, goal dan sudah begitu saja, tidak ada yang special seperti sebelumnya. Tidak ada rasa greget yang bisa menimbulkan semangat ketika memainkannya. 

Belakangan ini pun menikmati kopi tak lebih seperti minum air putih biasa, tidak ada sensasi ketika menghirup aroma kopi setelah baru saja di seduh. Merokok pun tidak ada lagi kesenangannya, tak lebih dari sekedar menghisap asap lantas menyemburkannya lagi. Dan terus saja begitu.

Ketika membaca buku, tidak ada ekspresi yang berlebihan seperti biasanya. Setiap kalimat yang dibaca, lembar demi lembar halaman yang di bolak balik tidak memberikan makna dari setiap kata yang telah di lewati. Ekspresi yang biasa saja, datar, tak ada yang special.

Lalu apa ini ? sampai saat ini saya belum bisa mendapatkan jawabannya. Hampir setiap malam saya berdiam diri di kamar, untuk befikir dan mencari sesuatu hal yang bisa mengembalikan lagi senyuman, atau paling tidak rasa sedih yang selama ini tersimpan entah dimana. Dan sampai saat ini pun belum pernah menemukan titik terangnya.

Tidak hanya itu, inspirasi yang selama ini selalu hadir ketika bekerja atau melakukan aktifitas lainnya seakan ikut hilang. Semuanya tersimpan baik di sini, di dada yang sepi. Dia tak mampu untuk keluar, meneriakan apa yang dirasakannya. Seperti ada sebuah tembok besar yang menghalangi, supaya semua ini tidak bisa menyembur keluar.

Layaknya gunung yang sudah lama tertidur, menahan semua magma yang ada di dalamnya. Dan pada saatnya nanti akan keluar dengan sendirinya setelah semuanya tidak mampu lagi tertahan. Apakah hati ini juga sama demikian ? Sedang menikmati masa – masa tertidur pulas dalam kesendirian dan kesepiannya dan akan “memberontak” pada akhirnya nanti. Siapa tahu ? Saya sendiri tidak bisa memprediksikannya.

Yang jelas, pertanyaan ini pun belum bisa terjawab. Apakah ini yang di sebut dengan “kosong” ? hampa ? atau sesuatu yang lebih mengerikan daripada keduanya ? Saya tidak pernah tahu, tapi secepatnya harus keluar dari lingkaran ini. Apapun dan bagaimanapun caranya.

Ketika Saya menyelesaikan tulisan ini, perasaan ini masih tetap saja sama. Ekspresi yang datar, memainkan asap rokok dan perasaan yang sedikit linglung. 

Sunday, December 1, 2013

"BODOH"

"Kalo bicara soal urusan bimbingan skripsi, pasti selalu ada istilah "di jailin dosen". Tapi yang ini beda, giliran mahasiswa yang sedikit "ngejailin dosen"... "

Kalo ada mahasiswa yang bimbingan hari minggu ke rumah dosen, udah ga ketulungan tuh rajinnya si mahasiswa. Sama seperti saya, yang pas hari minggu kemarin niat bener buat bimbingan sama dosen pembimbing walaupun mesti hujan - hujanan dan nyita waktu istirahat. Maklum, namanya juga di buru waktu sidang sama wisuda. Walaupun pada akhirnya, dosen ga ketemu apalagi dapet tanda tangan sama minta revisian. Meskipun begitu, sore kemarin memberikan banyak pelajaran dari kebodohan yang saya lakukan.

Begini ceritanya....
Sore itu, saya ada janji sama dosen pembimbing 2 buat ngasih skripsi buat yang pertama kalinya. Meskipun cuaca mendung, berangkatlah saya dengan si kuda besi dengan maksud untuk menemui sang dosen. Walaupun mesti nanya dulu di jalan, karena ga pernah kerumah beliau sebelumnya. Setelah beberapa kali muter - muter di salah satu perumahan ternama di kota saya itu, ketemulah itu rumah. Dengan sebuah mobil volkswagen yang terparkir tepat di depan rumahnya. Ah, sungguh mobil klasik yang elegan.

Sesampainya di depan pintu rumah, saya membaca nama beliau di salah satu sticker sensus pemilihan umum, sesaat itu juga, saya berkata dalam hati "Ah, udahlah ga salah lagi ini rumahnya...". Langsung saja di ketuk pintu itu, berharap ini memang benar - benar rumahnya dan pertemuan ini akan segera berakhir.

Nyatanya, keinginan ini tidak berjalan mulus. Ada kekhawatiran ketika melihat deretan foto keluarga yang menghiasi ruang tamu waktu itu. Kekhawatiran itu pula yang membuat semuanya menjadi kacau. Ada perasaan yang entah darimana datangnya yang mengatakan kalau itu bukan rumah dosen yang saya tuju. Semakin lama terus saja perasaan ini semakin kuat, keinginan untuk segera meninggalkan rumah itu secepatnya dengan keyakinan bahwa saya salah rumah. Sampai akhirnya, dengan setelah sekian lama, dengan hati yang berat dan langkah yang mengendap ngendap Saya meninggalkan ruangan itu tanpa ucapan perpisahan kepada orang rumah.

Di perjalanan pulang, ternyata kegelisahan ini tidak berhenti begitu saja. Justru sebaliknya, perasaan bahwa itu benar - benar rumah dosen tersebut begitu kuat. Sempat berhenti sejenak, hanya untuk mengecek bahwa no telpon tersebut benar - benar milik beliau. Dan ketika menyadari hal bodoh itu, Saya langsung saja bergegas pulang ke rumah. Jangan sampai sudah melakukan hal bodoh, dan juga harus kehujanan di jalan.

Ah....betapa bodohnya seorang mahasiswa yang bisa mempunyai perasaan seperti itu, ketika dia benar - benar membutuhkan bimbingan dari seorang dosen, biar skripsinya cepat selesai. Sesampainya di rumah, saya langsung bergegas membuka handphone dan mengirim pesan kepada beliau

"Pak, maaf sepertinya saya tidak bisa ke rumah. Di sini hujan besar. Mungkin besok pak..."
"Oh iya, kirain yang tadi ke rumah terus pulang tanpa pamitan"
"Enggak pak, gak sempet keluar. Gimana kalo besok ke sekolah bapak?"
"Oh iya boleh, jam 9"

"Iya, makasih pak"

Kurang lebih seperti itu perbincangan kami lewat sms, saya bersyukur bahwa beliau tidak begitu mengenal saya sebelumnya, meskipun pernah mengajar salah satu mata kuliah. Entah semester berapa, dan mata kuliah apa, saya kurang mengingatnya. Ah, saya memang mahasiswa yang kurang ajar hehe.

Imbas dari kebodohan ini tidak berhenti begitu saja, niat - niat ingin berbohong untuk menenangkan diri, nyatanya kegelisahan ini semakin menjadi - jadi. Makan tak enak, merokok tak enak, bahkan diam pun tidak enak. Seperti ada perasaan tertekan, dan perasaan bahwa kebohongan ini akan terbongkar.

Sampai akhirnya saya berfikir, bahwa seandainya tadi lebih tenang mungkin kebodohan ini tidak akan pernah terjadi. Saya akui, belakangan ini memang bisa di sebut stress. Pekerjaan yang begitu banyak, dan berbagai hal yang harus di pikirkan atau memang yang tidak pantas dipikirkan menyelimuti kepala saya ini. Hal - hal kecil yang tidak bisa diselesaikan begitu saja, atau hal - hal besar yang sampai sekarang tidak ada ujungnya.

Saya hanya bisa berharap, bahwa kebodohan ini tidak akan terjadi untuk kedua kalinya. Dan malam ini, Saya bisa tidur dengan nyenyak. Semoga :)