Friday, March 7, 2014

Layang Jamus Kalimusada dan Pancasila

Sebelumnya terima kasih kepada Gerry karena telah mempersilakan saya untuk menikmati tulisan yang menarik ini. Memang benar, menulis itu bukan hanya soal keinganan saja tetapi harus dengan latihan. Semakin lama saya semakin tertarik dengan cara dirimu membawakan setiap postingan di blog. Seperti sudah ditata sedemikian rupa agar ini bisa menjadi sebuah tulisan yang bisa menarik minat pembaca.

Kembali kepada Layang Jamus Kalimusada, ataupun Layang Jamus Kalimasada. Saya tidak begitu mempermasalahkan perbedaan namanya. Pada intinya, saya juga pernah berfikir sama bahwa Layang Jamus Kalimusada itu adalah pencerminan dari Pancasila. Tetapi jika melihat dari segi waktu, tentu Layang Jamus Kalimusada lebih dulu lahir ketimbang Pancasila. Terlepas dari itu, keduanya sama saja merupakan salah satu ajaran yang sama - sama memberikan pelajaran tentang bagaimana kehidupan kita terhadap agama, bangsa, dan sesama.

Terkadang, Saya suka tertawa kecil mendengarkan beberapa kumpulan orang - orang yang berbicara lantang di dunia nyata maupun sosial media tentang sedikit penentangan mereka terhadap Pancasila. Banyak dari mereka berpendapat bahwa Pancasila itu tidak sesuai dengan syariat islam. Saya juga beragama yang sama, dan tidak menemukan adanya ajaran yang salah dalam isi Pancasila. Apanya yang salah ? Apakah karena Pancasila tidak bertuliskan huruf Arab ? Ataukah karena Pancasila di buat manusia ? Ayolah...kita tinggal di Indonesia, dan akan lebih sulit jika kita membaca Pancasila jika ditulis dengan bahasa Arab. Jika dengan tulisan yang kita baca setiap hari ini saja sudah banyak warga Indonesia yang sering lupa dengan isi Pancasila, lantas berapa banyak lagi masyarakat yang akan lupa dengan dasar negaranya sendiri ? Dan bagaimana dengan mereka yang beragama lain ? Bukankah dalam ajaran agama islam, toleransi ataupun rasa saling menghormati begitu jelas diterangkan "Untukku Agamaku, Untukmu Agamamu" (Al-Kafiruun : 6). Saya pikir dengan salah satu ayat itu saja lebih dari cukup untuk menyadarkan kita tentang pentingnya rasa saling menghargai dengan sesama.

Yang sering Saya temukan dari kegelisahan mereka terhadap Pancasila terletak pada sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa", ada beberapa orang yang mungkin sedikit terganjal hatinya mendengarkan kata Ketuhanan dan lebih nyaman dengan nama Tuhan agama yang dianutnya. Saya pikir, setiap agama membawakan ajaran yang baik. Jikapun ada yang salah, jangan menyalahkan agamanya tetapi lihatlah kepada diri kita sendiri. Bahkan tidak sedikit orang menggunakan ayat Al - Quran untuk dijadikan sebagai tameng untuk mengiyakan kebrutalan mereka. Dan ini mengingatkan saya pada sebuah foto yang didalamnya ada kutipan kata - kata Gus Dur yang di anggap sebagai salah satu tokoh yang mengajarkan tentang toleransi dan hidup beragama.

Dua paragraf di atas sebetulnya adalah sedikit dari kegelisahan saya sejak dulu tentang keadaan yang terjadi di Indonesia sekarang ini, ketika lebih banyak orang menutup diri dengan agamanya sendiri dan menganggap agama mereka lah yang paling benar. Lantas dimana rasa toleransi ? Dan dulu saya juga sempat akan menulis sebuah tulisan tentang hal ini, dan sampai sekarang masih betah disimpan di dalam draft posting blog hehe.

Ada hal yang menarik ketika mengaitkan Layang Jamus kalimusada dengan Pancasila. Pertama, Layang Jamus kalimusada adalah simbol dari Pandawa Lima. Sama halnya dengan Pancasila yang berjumlah 5 sila. Dan karakteristik yang dibawakan dari masing - masing Pandawa tersebut juga berbeda - beda. Inilah yang kemudian menjadi ketertarikan Saya terhadap keduanya. Apakah mungkin, pada saat pencetusan Pancasila mereka sempat berfikiran sejauh itu ? Jika melihat dalam video yang ada dalam pertunjukan wayang tersebut, mungkin akan terlihat bahwa Layang Jamus Kalimusada akan terlihat seperti sebuah buku ataupun pusaka.

Tetapi, bagi Saya itu hanyalah sebuah simbol untuk mempertegas bahwa "Cepot" telah mengambil sesuatu dari Kerajaan Amarta. Akan sulit jika harus menggambarkan Cepot mengambil sesuatu yang sebetulnya itu hanyalah sebuah pedoman. Dan jikapun ada yang sangat mendekati jika itu adalah sesuatu barang, maka itu sepertinya kitab. Karena, zaman dulu mungkin masih belum ada yang namanya e-book hehe.

Berbeda dengan Endong Semar yang jelas - jelas sering menjadi pelengkap atribut dalam kesehariannya. Sang Hyang Tunggal sendiri yang sebetulnya adalah kakek dari Cepot sudah dapat diterka pada akhir cerita oleh Semar. Makanya, dia tidak begitu banyak bicara mengenai kehilangan Layang Jamus Kalimusada tersebut. Mengingat bahwa Semar memang bukan manusia biasa, tetapi perwujudan setengah manusia dan dewa. Dan itu juga yang menjadikan anak - anaknya masih memiliki keturunan dewa dan dibekali dengan kesaktian masing - masing. Dibalik sikap Cepot yang konyol dan Dawala yang terlihat seperti orang yang tidak mengerti apa - apa, keduanya memiliki kekuatan yang bahkan tidak dapat ditandingi oleh para pandawa.

Nah, sebetulnya ada 1 judul lagi yang menarik dalam cerita pewayangan yang dapat menjadi gambaran Negara Indonesia pada masa sekarang ini. Dan untuk mendapatkan gelar sarjana baru - baru ini di salah satu Sekolah Tinggi swasta di kota kelahiran, Saya menulis sebuah skripsi yang berjudul "Nilai - Nilai Keislaman yang Terkandung dalam Cerita Wayang Lakon Trijaya Sakti (Analisis Filsfafat Pendidikan Islam)". Judul itulah yang kemudian menjadi jalan Saya untuk menyelesaikan studi terakhir. Memang sedikit aneh, ketika Saya yang jelas - jelas kuliah di jurusan PAI (Pendidikan Agama Islam) tiba - tiba ingin berbicara tentang wayang. Bahkan dosen, Ketua Jurusan, Dekan dan semua orang yang bertanya tentang tugas akhir Saya juga merasa aneh dan tertawa apalagi pemilik toko buku yang pada waktu itu menanyakan tentang ketertarikan Saya membeli buku tentang wayang. Karena kesulitan mengenai referensi, Saya pun harus keluar kota hanya untuk singgah beberapa jam lantas pulang lagi dengan membawa beberapa kumpulan artikel mengenai pewayangan.

Intinya, ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari Trijaya Sakti ini, baik itu mengenai kehidupan berbangsa, bernegara, beragama dan kepada sesama yang dapat kita pelajari dari cerita pewayangan ini. Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan keadaan negara kita. Saling menyalahkan, egois, dan yang terpenting adalah bahwa kita sudah tidak mau lagi bersahabat dengan alam. Mungkin inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab banyaknya bencana yang terjadi sekarng ini. Dan bagi Gerry, mungkin Anda akan tertarik untuk lebih mengenalnya lebih jauh serta menuliskannya kembali di blog.

Salam.....
Tutup Lawang Sigotaka...

0 comments :

Post a Comment